- Pertama.. Pemilu Legislatif sudah berlalu dan sekarang sedang dijalankan penghitungan suara. Walaupun begitu, hasil penghitungan cepat dari berbagai lembaga survei mengerucutkan hasil kepada salah satu partai besar sebagai "pemenang".
- Walaupun pemilu legislatif telah berlalu, masih banyak PR untuk KPU dan pemerintah. Misalnya pengakuratan DPT dan penyediaan serta penyebaran logistik untuk pemilu presiden.
- Berkaca dari hasil penghitungan cepat dan hasil penghitungan sementara, partai-partai mulai menentukan sikap (baca: berkoalisi) untuk menghadapi pemilu presiden mendatang.
Nah, mari sekarang kita tinjau bebarapa hal unik (menurut saya unik atau bahkan aneh) yang sudah dan sedang terjadi:
- Media massa banyak memberitakan mengenai pelanggaran pemilu (katanya sih mencapai ribuan).. ternyata eh ternyata.. sanksi untuk pelanggaran itu kok sepertinya tidak ada ya?? Kalau memang ada yang tahu tentang sanksinya (dan tentu juga pelaksanaannya), tolong terangi ketidaktahuan saya ini. Lalu mengapa saya bertanya tentang sanksi?? Hmm.. karena ketika saya menonton perlombaan "jet darat" F1 bebarapa minggu lalu, tiba-tiba saya teringat bahwa pelanggaran-pelanggaran di F1 biasa diganjar hukuman penalti 10 detik. Untuk saya yang tidak menggilai F1 saja merasakan penalti 10 detik itu sangat berat. Nah kalau itu balapan kelas dunia.. nah kalau yang ini persoalan pemilu, persoalan hidup-matinya pemerintahan suatu negara.. nah loh.. jadi??
- Menilik banyak pemberitaan, berbagai media massa menyatakan sebuah partai besar sudah hampir pasti menjadi pemenang pemilu legislatif, atau menyatakan bahwa partai "QWERTY" sudah dipastikan kalah akan berkoalisi dengan partai kalah lainnya untuk pemilu presiden. Penggunaan istilah menang-kalah ini menarik untuk diperhatikan, karena setidaknya bagi saya penggunaannya salah kaprah. Sebenarnya siapa pemenang pemilu ini sesungguhnya?? Bukankah jawabannya seluruh rakyat Indonesia.. Jika begitu, maka siapa yang kalah?? Tidak ada. Jika istilah menang-kalah tetap digunakah, berarti pemilu dipandang sebagai sebuah kontes unjuk kekuatan dan kekuasaan, di mana pemenang jadi penguasa dan yang kalah jadi pecundang. Bukankah konsep demokrasi adalah kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat?? Maka saya usulkan penggunaan istilah "memimpin hasil pemilu."
- Setelah beberapa saat ramai dengan pemberitaan hasil penghitungan cepat, dua orang jenderal besar pada zaman orde baru, bertemu untuk membicarakan situasi politik di Indonesia (termasuk kemungkinan koalisi). Kabarnya kedua tokoh ini tidak pernah bertemu setelah peristiwa berdarah di Jakarta (sejak Mei 1998, lihat ini). Dan mari kita ramai-ramai tanyakan kepada tokoh-tokoh terhormat pemegang kekuasaan orde baru, "Bapak dan Ibu, bagaimana proses penyelesaian dosa bangsa dan negara ini yang terjadi pada bulan Mei 1998??" Untuk penyelesaian masalah ini semuanya mengaku tidak bertanggung jawab dan berkata waktu yang akan menjawabnya. Maka saya bertanya, "Kapan??" Untuk dosa besar ini, pihak-pihak terkait hanya beradu argumentasi, misalnya melalui buku atau media massa. Tidak ada pihak yang berbesar hati untuk meminta pihak-pihak terkait duduk bersama, membahas, dan mencari kebenarannya. Tapi untuk kepentingan politik yang katanya untuk kepentingan nasional, bangsa dan negara (mungkin juga hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan), mereka bisa bertemu, duduk bersama, berfoto dan bahkan berjabatan tangan. Ada beberapa orang yang berkata kepada saya, "Untuk apa selalu melihat ke masa lalu??" Begini kawan, dosa tahun 1966 dan 1998 masih gelap, dan dosa sepanjang pemerintahan orde baru masih sama gulitanya. Dan saya percaya bahwa suatu saat peristiwa serupa mungkin terjadi lagi. Dan jika di masa depan itu kita korbannya, atau anak kita atau cucu kita atau teman kita atau sanak kita (yang semuanya adalah manusia), apakah pemerintah akan bertanggung jawab?? Apakah pemerintah akan berusaha mencari kebenarannya??
- Banyak protes bermunculan sebelum pelaksaan pemilu legislatif, terkait DPT, hukum yang menaungi pemilu, proses pemilu itu sendiri, penyebaran logistik, dan lain sebagainya. Tapi saat itu protes tidak sekeras sekarang setelah pemilu selesai, karena partai-partai beramai-ramai memprotes hasil pemilu, yang untuk saya pribadi semakin menunjukkan sikap tidak ksatria dan pemilu ini hanya untuk kepentingan pribadi serta golongan. Baiknya protes ini dilakukan sesuai dengan jalur hukum yang tersedia, dan untuk kekisruhan DPT seharusnya dilayangkan protes ramai-ramai sebelum pemilu dimulai. Bahkan melalui pemberitaan media massa pun, saya mengetahui ada protes yang dilayangkan karena pada pemilu legislatif telah terjadi kecurangan. Apakah ini hanya indikasi atau sudah ditemukan fakta dan buktinya?? Bukankah di Indonesia berlaku azas praduga tak bersalah, yang ramai-ramai dilayangkan dalam setiap kasus yang diusut KPK?? Jadi teringat iklan sebuah partai politik dengan slogan "Siap Menang" yang langsung menggelitik saya dengan pertanyaan "Siap kalah tidak??"
- Tidak heran sebenarnya jika periode mendatang sebagian besar para anggota wakil rakyat tetap malas (tidur, mengantuk, ngobrol, dan merokok saat bekerja), dilihat dari cara berkampanyenya yang saya sebut dilakukan dengan penuh anarki. Misalnya, seberapa banyak para caleg dan kader-kadernya yang meminta izin untuk menempelkan poster kampanye?? Seberapa banyak para caleg yang membersihkan atribut kampanyenya secara mandiri dan sadar diri?? Saya kira jawabannya sebagian besar tidak.
- Banyak pihak yang bertanya-tanya tentang apa perlunya berkoalisi, apa gunanya pemilu, untuk apa berpolitik, dan lain sebagainya. Semuanya ini seharusnya membuka mata kita bahwa pendidikan politik di negara kita sangat kurang, walaupun semasa kita bersekolah dari tingkat SD sampai SMA kita dicekoki pendidikan ideologi (yang terkadang memuakkan dan membosankan). Hal ini disebabkan terlupakannya pendidikan politik tertutama politik praktis. Kita sebagai manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, karena itulah selama kita tidak dapat hidup seorang diri, kita akan selalu berpolitik dan berorganisasi. Guru Sejarah saya semasa SMP pernah berkata bahwa arti politik yang paling sederhana adalah cara yang kita lakukan untuk mencapai sesuatu. Karena itu mengapa harus menghindari sesuatu hal yang tidak bisa kita hindari?? Karena itu pelajari dan lakukanlah politik dengan berpegang pada kebenaran.
Mungkin kita masih bodoh, tidak berpengalaman, dan tidak mengerti, tetapi kita mau belajar dan mau mengerti. Karena itulah saya masih berharap bangsa dan negara kita bisa lebih cerdas lagi dalam menyikapi dan berperan dalam dunia politik. Misalnya: jumlah partai politik yang tidak terlalu banyak (5-7 partai mungkin??), jarak 1 tahun dari pilkada dengan pemilu legislatif, dan jarak 1 tahun lagi untuk pemilu presiden.
Dan akhir kata seperti kata teman saya di sebelah, yang penting adalah semangat.. Mari kita bersemangat menyambut pemilu presiden mendatang.
No comments:
Post a Comment